Pajak Internasional
PAJAK INTERNASIONAL
Memahami
Persoalan Pajak Global
PERSOALAN terkait pajak
internasional seperti persaingan pajak (tax competition), negara tax
haven, serta ketimpangan distribusi pendapatan kerap kali merugikan baik
negara maju, dan terutama negara berkembang. Lantas, bagaimanakah para
pengambil kebijakan menyikapi hal ini?
Buku bertajuk Global Tax
Fairness ini memaparkan usulan dari berbagai kontributor ahli untuk
memperbaiki sistem pajak internasional. Buku terbitan Oxford University Press
pada tahun 2016 ini sangat menarik karena solusi yang ditawarkan tidak terbatas
hanya pada solusi yang sering dibahas oleh organisasi internasional
seperti OECD, namun juga usulan yang mungkin sedikit asing atau tidak pernah
digagas sebelumnya.
Dalam salah satu bab, Vito
Tanzi menjelaskan perlunya dibentuk Otoritas Pajak Global (Global Tax
Authority). Menurutnya, dalam era globalisasi di mana telah banyak muncul
organisasi internasional yang menangani berbagai isu, belum ada sebuah
organisasi yang mengatur hubungan perpajakan antarnegara, menangani masalah
persaingan pajak, serta membatasi kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak
secara global (global tax evasion).
Nantinya, terdapat sembilan fungsi
otoritas ini, mulai dari mengidentifikasi permasalahan di bidang pajak
internasional, mengumpulkan informasi dan statistik perpajakan dari berbagai
negara serta memublikasikannya dalam sebuah laporan, sampai yang paling penting
yakni membuat sistem pengawasan kebijakan pajak di berbagai negara.
Vito Tanzi berpendapat bahwa tanpa
adanya institusi seperti Otoritas Pajak Global, permasalahan terkait kompetisi
pajak yang tidak adil dan penghindaran pajak akan selalu ada.
Buku yang disunting oleh Thomas
Pogge dan Krishen Mehta ini menekankan persaingan pajak (tax competition)
adalah sebuah isu serius, karena merupakan suatu obsesi yang berbahaya.
Berbagai negara bersaing untuk menurunkan tarif pajak mereka, memperkecil basis
pajak, serta melemahkan pelaksanaan peraturan pajak (race to the bottom).
Persaingan pajak kemudian dianggap membuat arus investasi terfokus pada wilayah
yang menyediakan berbagai insentif daripada wilayah dengan produktifitas
ekonomi yang tinggi.
Pentingnya isu persaingan pajak
juga diulas oleh Michael C. Durst dalam artikelnya. Menurutnya, menurunnya
tarif pajak badan memiliki pengaruh yang besar bagi negara berkembang. Jika
negara maju dapat mengalihkan beban pajak tersebut kepada sektor lain seperti
pajak individu atau pajak konsumsi, penerimaan pajak negara berkembang
cenderung bertumpu pada pajak badan.
Hal ini disebabkan karena
perekonomian negara berkembang masih didominasi oleh sektor informal dengan
pembukuan sederhana yang sulit untuk memfasilitasi kebutuhan otoritas pajak
atas laporan pajak.
Selain pembahasan di atas, terdapat
usulan-usulan lain seperti Financial Transaction Tax (FTT) dan pajak
untuk kekayaan anonim (Anonymous Wealth Tax) sebagai solusi untuk
mengurangi permasalahan distribusi pendapatan.
Usulan pemajakan atas ‘kekayaan tak
bertuan’ terbilang unik karena pemilik harta dapat mengambil kembali sebagian
porsi pajak tersebut saat ia telah menyelesaikan kewajiban perpajakan dalam
negeri dan aset yang dimiliki di negara lain berasal dari sumber yang sah.
Pendapatan dari pajak tersebut kemudian akan dialokasikan untuk membiayai
penanganan isu global seperti perubahan iklim sebagai kompensasi atas
penghindaran pajak yang telah dilakukan.
Sebagai penutup, terdapat pemaparan
mengenai 10 cara bagi negara berkembang agar dapat menarik investasi asing
sekaligus mempertahankan kedaulatan pajaknya.
Selain rekomendasi untuk
menghindari persaingan pajak dan insentif pajak, penulis memberikan usulan lain
kepada negara berkembang, mulai dari usulan untuk lebih berhati-hati dalam
menyepakati perjanjian bilateral pajak atau tax treaty, mengenakan withholding
tax bagi non-residen, mengatur sebuah kesepakatan yang adil dengan
investor di industri ekstraktif, penggunaan profit split method dalam transfer
pricing, sampai saran untuk memajaki sektor informal.
Secara keseluruhan, para
kontributor mengajak pembaca untuk semakin peduli dengan permasalahan pajak
internasional dan dampaknya terutama terhadap negara berkembang. Buku ini
sesuai untuk dibaca para pengambil kebijakan dan tersedia di DDTC
Library. (Amu)
PAJAK INTERNASIONAL (2)
Pajak
Internasional suatu Pengantar
KEDAULATAN negara untuk mengatur aspek internasional
dari ketentuan pajaknya dapat saja berbeda dan saling berbenturan dengan negara
lainnya, sehingga dapat terjadi saling klaim hak pemajakan terhadap suatu objek
pajak maupun subjek pajak yang sama.
Untuk itu, perlu dibuat suatu ‘norma pajak
internasional’ sebagai suatu panduan yang berlaku secara umum dan
internasional. Melalui ‘norma pajak internasional’, suatu negara tidak dapat
menerapkan klaim hak pemajakannya terhadap negara lain apabila tidak terdapat
faktor penghubung tertentu (connecting factor) yang dipersyaratkan.
Pada umumnya, terdapat dua faktor penghubung yang
dituangkan dalam ketentuan pajak dari suatu negara ketika mengatur aspek
internasional dari ketentuan pajaknya, yaitu:
·
Personal Connecting Factor di mana faktor penghubung ini
mengaitkan hak pemajakan suatu negara berdasarkan status subjek pajaknya
‘terhubung’ dengan negara tersebut. Konsep ini juga sering disebut dengan
konsep residence atau personal attachment.
·
Objective Connecting Factor di mana faktor penghubung ini
mengaitkan hak pemajakan suatu negara berdasarkan keberadaan aktivitas ekonomi
dengan wilayah teritorial suatu negara. Konsep ini juga sering disebut dengan
konsep source atau objective attachment.
Penerapan jenis faktor penghubung di atas oleh
ketentuan pajak domestik dari berbagai negara dapat berdampak pada transaksi
lintas batas negara, di mana dua atau lebih negara dapat melakukan klaim hak
pemajakan atas subjek pajak atau objek pajak yang sama.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pajak berganda.
Secara umum, pajak berganda dapat bersifat yuridis maupun ekonomis. Pajak
berganda secara yuridis merujuk pada situasi di mana satu subjek pajak
dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara atas penghasilan yang sama pada
suatu periode (tahun) pajak yang sama.
Sedangkan, pajak berganda secara ekonomis
merujuk pada situasi di mana suatu penghasilan yang sama dikenakan pajak lebih
dari satu kali di dua atau lebih subjek pajak yang berbeda
Pajak berganda ditengarai menjadi penyebab penghalang
aktivitas bisnis lintas batas negara. Oleh karena itu, banyak negara berupaya
untuk menghilangkan dampak pajak berganda dengan berbagai metode. Pada umumnya,
metode tersebut dapat dilakukan secara unilateral, bilateral, maupun
multilateral.
Secara unilateral, pajak berganda dapat dihilangkan
dengan melalui ketentuan penghindaran pajak berganda yang diterapkan secara
sepihak oleh suatu negara menurut ketentuan pajak domestik negara tersebut.
Misal di Indonesia, dengan menggunakan ketentuan kredit pajak luar negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008.
Sedangkan secara bilateral atau multilateral, suatu
negara dapat menghilangkan pajak berganda dengan cara mengadakan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Namun perlu diperhatikan bahwa dalam konteks
P3B, penghindaran pajak berganda yang dimaksud adalah penghindaran pajak
berganda secara yuridis.
PAJAK INTERNASIONAL (3)
Prinsip
Non-Diskriminasi
DALAM konteks pajak internasional, istilah
diskriminasi diartikan sebagai perlakuan pajak yang kurang menguntungkan
terhadap suatu subjek pajak tertentu dibandingkan dengan subjek pajak lainnya
dalam kondisi yang sama. Pasal 24 OECD Model mengatur mengenai penghindaran
diskriminasi dalam kondisi-kondisi yang ditentukan secara spesifik.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, diskriminasi dalam
konteks Pasal 24 OECD Model dapat diartikan sebagai: (i) perlakuan yang tidak
sama atas kasus yang sama (dapat diperbandingkan); atau (ii) perlakuan yang
sama atas kasus yang tidak sama (dapat diperbandingkan). Tujuan diadakannya
Pasal 24 OECD Model bukan untuk menghindari pajak berganda, namun untuk
menghindari adanya pemajakan yang tidak adil. Hal ini berbeda dengan
pasal-pasal lain dalam P3B yang umumnya diadakan untuk menghindari pajak
berganda.
Pasal 24 ayat (1), (2) dan (5) OECD Model memiliki
formulasi yang sebanding satu dengan yang lainnya dan oleh karena itu akan
dijelaskan secara bersamaan.
Pasal 24 ayat (1) OECD Model mengatur tentang larangan
untuk mengenakan pajak yang kurang menguntungkan atas dasar kewarganegaraan
dari subjek pajak. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) OECD Model, subjek pajak
(misal, Subjek Pajak D) yang mempunyai status kewarganegaraan di negara asalnya
(misal, di Negara D) tidak boleh dikenakan pajak secara lebih berat di negara
lainnya.
Misalkan di negara sumber penghasilan (Negara S),
dibandingkan dengan subjek pajak (misal, Subjek Pajak S) yang merupakan
warganegara dari Negara S. Prinsip non-diskriminasi ini berlaku dengan syarat
kondisi antara Subjek Pajak D dan Subjek Pajak S adalah sama. Misalnya,
sama-sama menjadi subjek pajak dalam negeri Negara S.
Diskriminasi pemajakan dapat diperkenankan apabila
status subjek pajak dalam negeri (resident) antara Subjek Pajak D dan
Subjek Pajak S berbeda. Dalam hal ini, negara sumber penghasilan (Negara
S) dapat membedakan perlakuan pajak antara subjek pajak dalam negeri dengan
subjek pajak luar negeri.
Konsisten dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) OECD
Model, Pasal 24 ayat (2) OECD Model menyatakan bahwa subjek pajak yang tidak
mempunyai status kewarganegaraan yang menjadi subjek pajak dalam negeri di
negara yang mengadakan P3B (misal, Negara D) tidak boleh diberi perlakuan pajak
yang kurang menguntungkan di negara mitra perjanjian lainnya (misal, Negara S)
dibandingkan dengan subjek pajak dalam negeri lainnya yang mempunyai status
kewarganegaraan di negara yang mengadakan P3B tersebut (Negara S).
Sedangkan ketentuan Pasal 24 ayat (5) OECD Model
melarang suatu negara (misalkan Negara S) mengenakan pajak yang kurang
menguntungkan kepada suatu perusahaan (misalkan Perusahaan D) yang menjalankan
kegiatan usaha di Negara S, di mana Perusahaan D tersebut dimiliki oleh subjek
pajak dalam negeri dari Negara D. OECD Commentaries menegaskan bahwa
prinsip non-diskriminasi ini ditujukan untuk ‘enterprise’ (perusahaan)
dan bukan untuk ‘person’ yang memiliki atau mengendalikan perusahaan tersebut.
Ketentuan mengenai non-diskriminasi terhadap Bentuk
Usaha Tetap (BUT) diatur dalam Pasal 24 ayat (3). Maksud dari Pasal 24 ayat (3)
OECD Model adalah jika Perusahaan D yang merupakan subjek pajak dalam negeri
dari Negara D mempunyai BUT di Negara S maka perlakuan pajak atas BUT tersebut
di Negara S tidak boleh kurang menguntungkan dibandingkan dengan, misalkan
Perusahaan S yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari Negara S.
Hal tersebut berlaku dengan syarat kegiatan usaha yang
dilakukan oleh BUT dan Perusahaan S tersebut adalah sama. Mengenai persamaan
perlakuan pajak atas biaya bunga, royalti, dan pembebanan biaya lainnya sebagai
pengurangan penghasilan kena pajak, diatur dalam Pasal 24 ayat (4) OECD Model.
Berdasarkan ketentuan ini perlakuan pajak atas biaya bunga, royalti, dan
pembebanan biaya lainnya tidak boleh dibedakan antara biaya yang dibayarkan
kepada subjek pajak dalam negeri dari negara sumber atau negara domisili.
Artikel Tentang Pph pasal 26
Pengertian Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B)
adalah :
Perjanjian penghindaran pajak
berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima
oleh penduduk dari salah satu atau
kedua negara pihak pada persetujuan
(both contracting states)
Beberapa pasal dalam P3B memerlukan aturan pelaksanaan
yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (mode of application),
misalnya tentang
pasal dividen dan bunga. Sedangkan jika
terdapat perbedaan penafsiran atau
penerapan yang bertentangan dengan P3B antara kedua negara, maka diperlukan adanya mutual agreement procedure.
Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) memiliki kedudukan yang setara dengan
undang-undang, karena dalam penerapannya berfungsi melengkapi.
Perjanjian
dianggap sah dan dapat dijalankan oleh penduduk antar negara bila disahkan atau dikuatkan oleh badan yang berwenang di
negaranya, dalam hal ini bisa DPR atau Presiden. Pengesahan tersebut
dikenal dengan istilah ratifikasi.
Tujuan Penghindaran Pajak
berganda adalah :
(a) Tidak terjadi
pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha
Dengan
P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat
dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili.
Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan.
Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan
kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu
di negara domisili.
dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili.
Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan.
Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan
kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu
di negara domisili.
(b) Peningkatan investasi modal dari luar negeri.
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman
saham, royalti dari pemilik hak cipta,
jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dipastikan penduduk asing akan
berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk
menanamkan modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang
diharapkan
(b) Peningkatan sumber daya manusia.
Dengan
adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan
karyawan di negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan,
maka dipastikan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
yang lebih memadai. Apabila penghasilan mahasiswa dan karyawan yang
sedang melakukan pendidikan dan pelatihan dikenakan pajak, maka akan
membebani mereka sehingga mereka lebih baik tidak belajar di luar negeri
atau menambah ilmu di luar negeri di mana mereka belajar atau bekerja.
Hal ini jika diberlakukan maka sumber daya manusia salah satu negara
tersebut akan mengalami keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan.
karyawan di negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan,
maka dipastikan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
yang lebih memadai. Apabila penghasilan mahasiswa dan karyawan yang
sedang melakukan pendidikan dan pelatihan dikenakan pajak, maka akan
membebani mereka sehingga mereka lebih baik tidak belajar di luar negeri
atau menambah ilmu di luar negeri di mana mereka belajar atau bekerja.
Hal ini jika diberlakukan maka sumber daya manusia salah satu negara
tersebut akan mengalami keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan.
(d)
Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak
Dengan
adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua
negara, maka penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di
kedua negara menjadi jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin.
negara, maka penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di
kedua negara menjadi jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin.
Negara
yang terkait dengan tax treaty, dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di
negara sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan
penghasilan dari negara sumber. Informasi
penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh
penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak.
(e)
Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara.
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar
kedua
negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan
penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara
yang mengadakan tax treaty tidak boleh sewenang-wenang dalam hal
pemajakannya.
negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan
penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara
yang mengadakan tax treaty tidak boleh sewenang-wenang dalam hal
pemajakannya.
Sehingga apabila
antara dua negara telah mengadakan perjanjian Tax Treaty atau Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka setiap transaksi yang berhubungan
dengan penghasilan yang diterima oleh Orang Pribadi maupun Badan yang berasal
dari kedua negara tersebut. Maka pengenaan pajaknya diatur dalam tax treaty
atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) tersebut.
Artikel-Artikel Yang Perlu Diketahui :
- Artikel-Artikel Tentang PPh Pasal 26 dan Pajak
Internasional
- Kamus/Istilah-Istilah Yang
Digunakan Dalam Perpajakan
Referensi :
Komentar
Posting Komentar